Mafindo juga mencatat platform sosial media yang digunakan sebagai penyebar hoaks sejak Juli 2018 sampai dengan Januari 2019. Facebook masih menjadi sarana penyebaran hoaks yang paling dominan diikuti oleh WhatsApp dan Twitter.
Demikian disebabkan oleh rendahnya tingkat literasi media sosial. Apalagi media sosial dijadikan sebagai wadah untuk memberikan pengaruh negatif pada masyarakat pengguna internet, seperti berita hoaks, pelanggaran privasi, perundungan di dunia maya, penyebaran konten kekerasan serta pornografi.
Mafindo juga telah membuat sistem klasifikasi dalam menilai hoaks, salah satunya menggunakan klasifikasi akademis. Yaitu mengadopsi 7 klasifikasi hoax dari FirstDraft;
1. Satir / Parodi : tidak ada niat jahat, namun bisa mengecoh.
2. False Connection : judul berbeda dengan isi berita, dst.
3. False Context : konten disajikan dengan narasi konteks yang salah.
4. Misleading Content : konten dipelintir untuk menjelekkan.
5. Imposter Content : tokoh publik dicatut namanya.
6. Manipulated Content : konten yang sudah ada, diubah , untuk mengecoh.
7. Fabricated Content : 100% konten palsu.
Sebelumnya, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Bengkulu juga telah melaksanakan kegiatan Dialog Publik dengan tema “Menyiapkan Pemilih Pemula yang Berdaya dan Berkarya di Dunia Digital” pada Kamis, 1 November 2022 lalu.
Seperti dilansir dari Bengkuluinteraktif.com, bahwa Koordinator Wilayah Mafindo Bengkulu, Dr. Gushevinalti dalam kegiatan tersebut menyebutkan, lewat kegiatan ini Mafindo Bengkulu berharap masyarakat dapat menguatkan kemampuan literasi digital yang baik dalam mengakses informasi di media digital.
Demikian menunjukkan Mafindo dan beberapa instansi terkait telah berpartisipasi aktif dan harus diapresiasi atas upaya mereka dalam memerangi isu hoaks.
Halaman Selanjutnya: