Rejangnews.com || Rejang Lebong – Kepala SMKN 2 Rejang Lebong, Agustinus Dani, buka suara terkait polemik internal di sekolah yang dipimpinnya.
Ia memberikan klarifikasi atas sejumlah poin dalam petisi yang ditandatangani oleh 37 guru, yang mendesak dirinya dicopot dari jabatan kepala sekolah.
Dalam keterangannya, Agustinus menyebut bahwa persoalan pembayaran honor empat guru honorer bermula dari status SK yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi.
“Kami ingin membayar honor mereka, tapi terbentur aturan. SK mereka dari provinsi, bukan dari kepala sekolah,” ujarnya.
Ia mengaku sudah berkoordinasi dengan Cabang Dinas (Cabdin), namun tidak mendapat solusi jelas.
Soal dugaan pemotongan dana Program Indonesia Pintar (PIP), Agustinus menyebut hal itu adalah isu lama.
“Para siswa mengambil dana itu sendiri. Saat pencairan, saya sedang dinas luar ke Bandung selama sepuluh hari. Tidak ada guru yang memotong dana mereka. Mungkin mereka ke sekolah untuk membayar uang seragam dan lainnya,” kata dia.
Ia juga mengklarifikasi soal tidak dibayarnya honorer yang SK nya Kepala Sekolah karena belum memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). “Selama ini dibayar dari uang komite. Tapi sejak ada edaran gubernur, tidak bisa lagi,” tambahnya.
Terkait utang fotokopi, Agustinus menyebut hal itu utang fotokopi sebelum Ia menjabat.
“Saya berharap terhadap polemik ini, ada baiknya kami duduk bersama, dengan kepala dingin. Mudah-mudahan ada jalan keluarnya,” ujarnya.
Namun, sejumlah guru tetap bersikukuh bahwa kepemimpinan Agustinus penuh polemik.
Salah satu guru ASN, Alexander Leo Permadi, menyebut akar dari munculnya petisi adalah suasana kerja yang tidak harmonis.
“Kebijakan-kebijakan kepala sekolah kami nilai merugikan siswa. Contohnya, pemotongan PIP sebesar Rp100 ribu. Dari sekitar 90 penerima, 99 persen dipotong. Ini jelas melanggar UU Nomor 19 Tahun 2024,” tegasnya.
Alexander menuturkan, para siswa bahkan sempat langsung mengadu ke Gubernur Bengkulu. “Karena siswa sudah berani bersuara, kami para guru pun menyusul bertemu Gubernur. Karena selama ini kami memang merasa tertekan,” kata dia.
Ia juga menyebut adanya praktik arogan di lingkungan sekolah. “Kami pernah disuruh bersihkan WC, PTT disuruh merumput dan jaga malam. GTT bahkan dijadikan kepala jurusan, padahal tidak sesuai.”
Guru honorer lainnya, Herlina Julianti, mengungkap honor mengajarnya sejak Agustus 2024 hingga Februari 2025 belum dibayar. “Padahal saat itu belum ada edaran gubernur,” ujarnya.
Beberapa guru juga mengaku pernah dimarahi di depan umum dan mendapat ancaman terkait sertifikasi.
Bahkan, menurut Alexander, dirinya dan beberapa guru sempat dilaporkan ke polisi tanpa pemanggilan terlebih dulu. “Saya bahkan dituduh memprovokasi siswa untuk melaporkan persoalan pemotongan PIP ke Pengawas, padahal saya tidak hadir dalam pertemuan itu,” katanya.
Alexander juga mempertanyakan keabsahan status Agustinus sebagai kepala sekolah. “Beliau tidak memiliki SK Cakep maupun sertifikat kepemimpinan,” ujarnya.
Persoalan lain yang disebut adalah WiFi sekolah yang tak dibayar sejak Februari meski anggaran tersedia dalam dana BOS, serta adanya guru yang diminta mundur dari jabatannya tanpa alasan jelas. (Ade)